Home » » KISAH SEORANG GURU BIOLOGI ( PART 2 )

KISAH SEORANG GURU BIOLOGI ( PART 2 )

Dengan lemah aku mengangguk. Kakinya masih "memainkan" testisku. Aku kesakitan, namun tidak memberontak sedikitpun. Tangan IBu Sari memegang pergelangan kaki kananku. Dia menariknya kesamping lalu mengikatnya, lalu ujungnya diikatkan ke suatu tempat. IBu Sari lalu melakukannya dengan kakiku yang satu lagi. Kedua kakiku terpentang lebar ke kiri dan kanan. Agak sakit juga kakiku dipentangakan demikian lebar. Aku mencoba menggerakkan kakiku, namun kakiku sama sekali tidak bergerak sedikitpun. IBu Sari benar-benar kuat mengikat kedua kakiku.

Keadaanku benar-benar mengenaskan. Mataku tertutup oleh BH hitam yang tadi masih dikenakan IBu Sari, bahkan wanginya masih dapat kurasakan sekarang. Mulutku disumpal oleh celana dalamnya yang habis dikenakannya, lalu diikat dengan tali. Tanganku masih terikat kebelakang, tertindih oleh tubuhku. Kemeja yang tadi kukenakan sudah basah kuyub dan masih tersangkut di pergelangan tanganku. Yang lebih parah kedua kakiku dipaksa merentang lebar oleh ikatan tali sampai pantatku sedikit terangkat dari lantai kamar mandi itu. Dan tentunya IBu Sari bisa melihat dengan jelas seluruh tubuhku, termasuk juga alat-alat kelaminku.

Sekali renggut IBu Sari membuka penutup mataku. Tubuhnya masih telanjang bulat seperti tadi. Keringat mengalir deras ditubuhnya. Salah satu tangannya membawa ikat pinggang kulit. Tampaknya benda itu yang dia pakai untuk mencambukiku. Penisku yang sudah lemas kembali mengeras melihat pemandangan di depanku. IBu Sari kemudian mengeluarkan celana dalam dari mulutku, namun masih membiarkan ikatan talinya. Bahkan IBu Sari memperkuat ikatan tali itu. Mulutku sampai dipaksa mengaga karena ikatan tali itu.

IBu Sari mendekatiku. Wajahku terletak tepat di bawah kedua kakinya. Dengan perlahan dia menurunkan pinggulnya sampai vaginannya menempel tepat dimulutku yang terbuka. Dapat ku cium aroma keras dari vaginanya. Kedua pahanya ada di sisi kiri kanan kepalaku dan menekan kepalaku dengan keras membuat kepalaku tidak dapat bergerak sedikitpun. Ibu jari dan telunjuknya menjepit hidungku, sehingga mau tidak mau aku bernafas melalui mulut. Dan pada saat itulah aku merasakan air menyembur ke dalam mulutku. Tanpa dapat kutahan aku menelan cairan itu. Aku tahu bahwa itu adalah air kencing IBu Sari. Aku berusaha tidak menelannya, namun tak lama kemudian aku sudah kehabisan nafas. Dengan tersedak-sedak aku menelan air kencing itu.

Aku benar-benar terhina dengan perlakuan IBu Sari. Aku menelan air kencing itu agar aku dapat bernafas dengan mulutku, namun seakan tidak pernah berakhir IBu Sari masih terus mengeluarkan air kencingnya. Aku terus-menerus menelan dengan cepat cairan itu. Pandangan mataku perlahan-lahan menjadi gelap. Dadaku serasa panas terbakar. Ketika aku sudah hampr pingsan baru IBu Sari menghentikannya.

Dengan cepat dia memindahkan semprotan air seninya ke arah wajahku. Dengan cepat aku meneguk cairan yang tersisa di mulutku. Baru setelah itu aku kembali dapat bernafas dengan mulutku. Jantungku berdetak dengan cepat. Dengan susah payah kuatur nafasku yang terengah-engah. Mataku yang tersiram sedikit terasa perih maka itu ku pejamkan kedua mataku. Tak lama kemudian IBu Sari selesasi mengeluarkan semuanya. Dia melepaskan jepitan tangannya pada hidungku. Baru pada saat itu aku dapat mencium bau pesing dari air kencing IBu Sari. Perutku terasa kembung oleh cairan itu. Wajah dan rambutku hampir semuanya tersiram air kencing IBu Sari. Aku masih tidak bisa membuka mataku karena perih terkena cairan itu. Kemudian aku mendengar langkah kaki IBu Sari meninggalkan ruangan itu.

Aku ditinggalkannya sendirian dalam ruangan ini. Tanganku yang tertindih tubuhku terasa sakit dan pegal sekali. Kedua telapak kakiku terasa dingin karena tidak dialiri darah. Hal ini masih lebih baik jika dibanding IBu Sari masih disini. Entah dengan cara apa lagi dia akan menyiksaku. Dengan cepat lelah menyerang tubuhku. Aku mencoba untuk tidur dengan keadaan demikian, namun dengan cepat aku terbangun.

Lama kelamaan aku makin merasa tersiksa dalam posisi demikian. Tubuhku sudah kering, demikian juga dengan wajahku yang tadi dikencinginya. Bau pesing tidak dapat hilang, tiap kali aku bernafas bau itu tercium juga. Namun yang paling parah adalah tangan dan kakiku yang sakit sekali. Entah berapa lama aku dalam keadaan demikian. Perasaanku aku sudah berjam-jam di dalam kamar mandi itu.

Aku mendegar seseorang masuk ke dalam kamar. Sesaat kemudian IBu Sari masuk ke dalam kamar mandi itu. Dia mengenakan baju bali tipis berwarna putih dan celana yang sangat pendek. Puting susunya tercetak jelas di pakaiannya. Dia tersenyum melihat keadaanku.

"Turuti semua perintah Ibu, kalau tidak mau di hukum lebih parah, " katanya padaku.

Dengan susah-payah aku mencoba untuk mengangguk.

IBu Sari berjalan ke arahku, lalu tangannya menyalakan shower dan mulai menyiram tubuhku. Tampaknya dia sedang membersihkan tubuhku dari sisa-sisa air kencingnya. Setelah kira-kira sudah bersih dia menghentikan pekerjaannya, lalu tangannya mulai membuka ikatan di mulutku. Aku merasa lega sekali ketika ikatan di mulutku sudah terbuka. Rongga mulutku kering dan rahangku terasa pegal sekali akibat mulutku terus-menerus dipaksa terbuka.

IBu Sari kemudian membuka ikatan tali pada kedua kakiku. Kakiku terasa lemas sekali seperti tidak ada tenaga sama sekali. Untuk beberapa saat aku bahkan tidak bisa menggerakkan kakiku. IBu Sari bekerja dengan cepat, sesudah membuka ikatan kakiku dia membalikkan tubuhku dan membuka ikatan pada tangannku. Kemejaku yang basah di lepaskannya dari tanganku.

Dengan menarik rambutku IBu Sari membawaku keluar dari kamar mandi itu. Aku berjalan terhuyung-huyung karena kakiku masih belum sepenuhnya pulih. Setelah kami berada di ruang tidurnya barulah IBu Sari melepaskan tangannya dari rambutku. Aku berdiri dengan goyah. Kakiku seakan tidak kuat menahan berat badanku sendiri.

"Berlutut!" bentaknya padaku.

Dengan lutut gemetar aku mencoba untuk berlutut. Dengan kasar tangan IBu Sari menekan kepalaku sampai mengenai kakinya.

"Bersihkan kakiku!" katanya padaku.

Aku menatap matanya dengan pandangan tidak mengerti. Aku memang tidak terlalu menangkap maksud perkataannya. Aku sudah memikirkannya, lebih baik untuk sementara ini aku menuruti semua perkataanya dan juga aku menjaga agar tidak terlalu banyak bicara.

"Jilati kaki majikan kamu, ******!" katanya padaku dengan dingin.

Aku seperti disiram air dingin mendengar perkataannya padaku. Aku menatap kaki IBu Sari, melihat kulit kakinya yang mulus dan bersih. Tidak ada alasan buatku untuk membantah perintahnya. Baru ketika aku mau melakukannya.

"CCTTAARR!!"

Sebuah pukulan mendarat di kulit pantatku.

"Aaahh!!" teriakku kesakitan.

"Kamu memang benar-benar seperti ******, harus dipukul baru mengerti" katanya padaku.

Dengan cepat kedua tanganku memegang kaki IBu Sari yang disodorkannya padaku. Lidahku mulai menyapu permukaan kakinya.

"CCTTAARR!!"

Kembali sebuah pukulan mendarat di pantatku.

"Aaahh!!" teriakku.

Mataku menatap matanya seakan memprotes tindakannya. IBu Sari bukannya tidak tahu perbuatanku.

"DIAAM!!" bentaknya sambil menampar keras pipiku.

"Kecuali saya ijinkan kamu tidak boleh berbicara apa-apa," katanya padaku.

"Mengerti?" lanjutnya.

Aku hanya mengangguk.

"Lanjutkan tugas kamu," katanya lagi.

Aku melakukannya dengan cepat, sementara itu IBu Sari sesekali masih mencambuk pantatku dengan ikat pinggang itu. Aku tidak berani untuk berteriak, aku hanya menahan meskipun sesekali keluar juga erangan kecil dari mulutku.

"CCTTAARR!!"

"Bersihkan juga sela-sela jarinya," perintahnya padaku.

Dengan patuh aku melakukan semua perintahnya padaku. Setelah sekitar lima menit dia mengganti dengan kakinya yang satu lagi.

Setelah IBu Sari merasa sudah cukup, dia menyuruhku untuk berhenti. IBu Sari memberiku isyarat untuk mengikutinya. Kemudian IBu Sari mengambil 2 utas tali yang tergeletak di lantai dan juga celana dalam yang tadi digunakannya untuk menyumpal mulutku. Perasaanku mengatakan tali itulah yang digunakannya untuk mengikat kedua kakiku tadi.

Aku berjalan di belakangnya dengan wajah menunduk. IBu Sari membawaku keluar dari kamarnya. Mataku melihat sekeliling, tidak ada orang lain selain kami di rumahnya. IBu Sari membawaku ke bagian belakang rumah itu. Di sana ada ruang terbuka, namun di skelilingnya dipagari tembok tinggi. Tidak mungkin ada orang yang dapat melihat kami, pikirku. Dapat kukatakan fungsi ruangan itu adalah sebagai tempat menjemur baju.

IBu Sari membawaku ke arah tiang besi yang letaknya di tengah-tengah ruangan itu. Dasar tiang besi itu tertanam dalam lantai, tampaknya sangat kokoh. Diameter tiang itu sekitar 10 centi dengan tinggi sekitar 2 meter dan di cat berwarna hitam. Fungsinya adalah tempat untuk mengikat tali jemuran. IBu Sari melepaskan tali yang terikat di tiang itu. Setelah semuanya terlepas, IBu Sari menyuruhku untuk berdiri dengan punggungku menempel di tiang tersebut. Kedua tanganku di tarik kebelakang lalu kedua pergelangan tanganku diikat jadi satu oleh tali yang tadi dibawanya. Tali itu adalah tali sepatu miliknya.

Tak ketinggalan kedua kakiku juga diikat menjadi satu dengan tiang itu. Dan terakhir IBu Sari mengambil tali jemuran yang tali dilepaskannya. Diikatnya leherku dengan tali itu menyatu dengan tiang itu. Kaki dan tanganku diikat dengan kuat, namun sebaliknya ikatan pada leherku dibuat sedikit longgar. Setelah diriku dalam posisi demikian, IBu Sari mulai mengayunkan benda yang ada di tangannya.

"CCTTAARR!!"

"CCTTAARR!!"

"CCTTAARR!!"

Terus menerus IBu Sari mengayunkan tangannya. Akupun tidak ketinggalan untuk menjerit-jerit, namun tanpa kusadari aku berusaha menahan jeritanku, aku takut jeritanku terlalu keras sehingga membuat orang-orang sekitar mendengarnya. Cambukannya mengenai dada, perut dan juga pahaku, bahkan ada sebuah yang nyaris mengenai alat vitalku. Dengan menahan sakit aku menerima pukulah-pukulan itu.

Sudah sekitar 20 kali IBu Sari mencambukiku, namun tampaknya belum ada tanda-tanda dia akan menghentikannya. Mau tidak mau aku merasa heran juga dengan kekuatannya. Setelah beberapa kali lagi mencambukku IBu Sari kemudian menghentikannya. Tangannya memunguti jepitan-jepitan baju yang berserakan di lantai. Dia mengambil 4 diantaranya, kemudian membawanya ke arahku.

Dengan perlahan tangannya mencoba menjepitkannya pada putingku. Aku tidak berkata apa-apa, namun mataku memandang perbuatannya dengan gelisah.

"Aaahh" teriakku keras ketika IBu Sari menjepitkannya.

Rasa perih seakan mengalir dari jepitan itu dan mengaliri seluruh tubuhku. Aku meronta-ronta dari ikatanku, namun tidak

berhasil bergerak sedikitpun. Dengan cepat IBu Sari menyumpal mulutku dengan celana dalam yang tadi dibawanya. Dia menekannya dalam-dalam sampai suara jeritanku tidak terdengar lagi. Tanpa menunggu lagi dia menjepit putingku yang lain.

Jika saja mulutku tidak tersumpal, pastilah jeritanku waktu itu bisa terdengar oleh tetangga rumahnya. Dua buah jepitan yang lain digunakannya untuk menjepit testisku. Tidak sesakit jepitan di putingku, namun aku khawatir perbuatannya padaku bisa menyebabkan kerusakan permanen pada alat kelaminku itu. (pada saat itu aku belum begitu mengerti akan hal ini).

Setelah selesai IBu Sari meninggalkanku lagi. Rasa sakit akibat jepitan itu berangsur-angsur berkurang. Saat itu kuperirakan sekitar pukul 12:00 - 13:00, matahari sedang terik-teriknya menyiram tubuh telanjangku. Kakiku sudah mulai terasa pegal karena lama berdiri. Aku sudah mencoba untuk berjongkok, namun tampaknya tali yang membelit leherku dikaitkan ke sesuatu di tiang itu sehingga memaksaku untuk terus berdiri. Keringat sudah membasahi seluruh tubuhku

Sudah sekitar 2 jam aku berada dalam keadaan seperti ini sampai akhirnya aku melihat IBu Sari. Dengan santai dia berjalan ke arahku. Tanpa mengucapkan sepatah kata, dia membuka ikatan pada kakiku. Kemudian dia melepaskan jepitan pada testisku, seketika itu juga aku merasakan perih sekali pada bagian yang tadi dijepit. Dia melihat ke arah penisku yang lemas, dengan perlahan tangannya mengusap penisku. Tidak membutuhkan waktu yang lama baginya untuk membuat penisku ereksi, lalu dia mulai mengocok penisku dengan cepat. IBu Sari belum menghentikan perkerjaannya sampai penisku benar-benar tegang. Pada saat itulah dengan tiba-tiba dia menghentikan pekerjaannya.

Dengan cepat tangannya mengambil tali yang tadi dipakai untuk mengikat kakiku, lalu digunakannya tali itu untuk mengikat pangkal penisku. IBu Sari mengikatnya dengan kuat, dapat kulihat testisku mengelembung akibat ikatan tali itu. Aku hanya merasakan sakit yang tidak seberapa akibat ikatan itu, hanya saja aku menjadi penasaran akan apa lagi yang akan diperbuat olehnya. Tangan IBu Sari dengan cepat melepaskan jepitan pada kedua putingku. Dengan menggigit celana dalam yang menyumpal mulutku aku mencoba menahan rasa sakit pada putingku. Dapat kurasakan butiran air mata meleleh di kedua pipiku. Baru setelah itu IBu Sari membuka ikatan pada tangan dan leherku.

Dengan cepat IBu Sari menuntunku masuk ke dalam. Dia kembali membawaku ke kamarnya. Dengan kasar tubuhku didorong ke ranjangnya. Seperti kesetanan IBu Sari melepaskan semua pakaiannya dengan cepat, setelah itu langsung menindih tubuhku. Tangannya menggenggam batang penisku yang sejak tadi terus ereksi, akibat ikatan tali itu. Tanpa ba bi Bu lagi IBu Sari memasukkan batang penisku ke vaginannya.

Melihat keadaanku, bisa dikatakan IBu Sari memperkosa diriku. Dia menunggangiku seperti kuda liar. Gerakannya cepat dan kasar. Sementara IBu Sari berteriak-teriak keenakan, aku berteriak kesakitan. Ikatan pada pangkal penisku semakin menyiksaku akibat perbuatannya. Aku mencoba menggunakan tanganku untuk mendorong tubuh IBu Sari, namun tanganku dengan mudah dapat dipegangnya. Seakan tidak bertenaga sama sekali, tanganku yang dipegangnya tidak dapat berbuat apa-apa. Melihat hal itu aku hanya bisa pasrah saja dengan perbuatan IBu Sari pada diriku.

Sudah sekitar sepuluh menit IBu Sari menunggangiku, selama itu pula tidak henti-hentinya aku memohon padanya untuk menghentikan perbuatannya, namun seperti bicara dengan tembok saja layaknya, IBu Sari tidak menyahuti setiap perkataanku. Bunyi berkecipakan dan bunyi akibat benturan tubuhnya dengan tubuhku, serta teriakan kami seakan-akan saling sahut menyahut.

Tubuh IBu Sari sudah dipenuhi oleh peluh, bahkan keringatnya sampai menetes-netes ke dadaku.

Tak lama dapat kurasakan jepitan vaginanya pada penisku mengencang, disertai teriakannya dia menghentikan perbuatannya dengan tiba-tiba. Kedua matanya terpejam dan mulutnya mengatup rapat seperti sedang menahan sesuatu, kedua tangannya memainkan kedua buah dadanya. Hampir selama 1 menit IBu Sari dalam keadaan demikian. Aku menebak dia sedang mengalami orgasme. Sedikit banyak aku merasa agak lega, karena sepertinya penyiksaanku akan segera berakhir. Nampaknya harapanku menjadi kenyataan ketika kulihat IBu Sari beranjak berdiri dari tempatnya kemudian dia berjalan ke arah rak di sampaing ranjang. Dengan susah payah aku mencoba untuk duduk.

Aku duduk diam sambil mencoba untuk mengumpulkan tenaga yang tadi terkuras habis. Tak lama aku mendengar suara lagu house music yang disetel keras, yang tampaknya disetel IBu Sari. Tiba-tiba aku merasakan dia sudah ada di sebelahku, dengan sekali dorong, aku kembali ke posisi seperti tadi. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi, namun aku sudah tidak mempunyai tenaga untuk memprotes, apalagi untuk bergerak dengan memejamkan mata aku menunggu apa yang terjadi padaku.

Dengan bantuan music yang menhentak-hentak, IBu Sari kembali 'menunggangiku' dengan beringas. Tangannya sesekali menampar pipiku dan juga menjepit putingku dengan keras. Namun tampaknya keadaanku sudah benar-benar payah sehingga untuk berteriakpun tidak mampu. Aku meraskan tangannya menekan pipiku, memaksa mulutku membuka, kemudian tanpa kuduga IBu Sari meludah ke dalam mulutku.

"Telan!" perintahnya padaku.

Dengan cepat kutelan air ludahnya di dalam mulutku. Aku agak terkejut juga dengan kepatuhanku padanya. IBu Sari mengulangi beberapa kali perbuatannya. Setelah itu dia lebih berkonsentrasi pada genjotannya padaku. Aku yakin jika pangkal penisku tidak terikat kuat aku pasti sudah berejakulasi semenjak tadi. Dan pastinya yang kurasakan pasti kenikmatan, bukan kesakitan seperti saat ini. Sudah 10 menit IBu Sari menggenjotku, namun tidak ada tanda-tanda dia akan menghentikan perbuatannya. Bahkan sepertinya dia malah "menggila".

Ranjangnya berderik-derik seperti sudah tidak kuat menahan goncangannya. Genjotannya makin lama makin cepat dan kedua tangannya tidak henti-hentinya memainkan kedua payudaranya dan mulutnya tidak henti-hentinya menjerit-jerit keenakan.

Sudah selama 5 menit IBu Sari dalam keadaan demikian dan sekarang ia sudah hampir orgasme menurutku atau lebih tepat kusebut harapanku.

Dengan tiba-tiba IBu Sari menghentikan perbuatannya kemudian dengan cepat dia berdiri dan mengarahkan vaginanya ke mulutku. Tanpa ragu aku mulai menjilati vaginanya, karena memang aku jauh lebih menikmati hal ini ketimbang di genjot olehnya. IBu Sari juga dengan 'gila' menggesek-gesekkan vaginannya dimulutku.

Setelah beberapa saat IBu Sari menjerit dengan keras, kedua pahanya menjepit keras kedua pipiku, lalu dia membenamkan vaginanya dalam-dalam ke mulutku. Kedua tangannya menjambak rambutku. Tak lama kemudian kurasakan cairan seperti lendir masuk ke mulutku. Tanpa disuruh aku menelannya. Sesudah itu IBu Sari berdiri dan dengan segera melepas ikatan pada penisku. Setelah sakitnya agak menghilang, tanpa dapat kutahan aku tertidur.

Beberapa saat kemudian aku terbangun oleh tamparan IBu Sari. Aku lihat IBu Sari menyodorkan pakaianku tadi berikut celana jeans dan celana dalamku. Aku menerimanya, kemudian tanpa mengucapkan apa-apa IBu Sari hanya berdiri saja meperhatikanku. Aku mengerti apa maksudnya, kemudian dengan cepat aku memakai pakaianku yang tampaknya sudah kering dan sudah disetrika. Sesudah memakai pakaian aku mencoba melihat jam, kulihat sudah jam 5 sore. Sesudah itu aku mencoba mencari cermin, disana kulihat kedua pipiku merah karena tamparannya. Tidak bisa kubayangkan apa alasan yang harus kuberikan pada ibuku nanti.

"Ayo cepat" kata IBu Sari dengan dingin.

Dengan segera aku mengikutinya, dengan hanya memberi isyarat dia menyuruhku untuk menunggu di mobilnya. Tak lama kemudian IBu Sari keluar, lalu sesudah mengunci rumahnya kami pergi. Di sepanjang perjalanan IBu Sari tidak mengucapkan apa-apa. Aku juga hanya tertunduk diam. Tak lama kemudian kami sampai di sekolah, sesudah menurunkanku ia pun pergi meninggalkanku.

Aku kemudian mencari angkutan untuk membawaku pulang. Untung saja pada saat aku pulang di rumahku hanya ada pembantu saja, sehingga aku tidak perlu membuat alasan mengenai keadaanku. Aku langsung saja mandi untuk membersihkan tubuhku. Bekas-bekas pukulannya kembali terasa perih ketika terkena air. Sesudah mandi akupun dengan cepat mengisi perutku yang sudah lapar sekali. Lalu aku segera tertidur.

Keesokannya aku terbangun. Aku melihat jam pk 05:00. Karena kemarin jam 7 malam aku sudah tidur maka kini jam 5 pagi aku sudah terbangun. Bekas tamparan di pipiku sudah hilang, namun badanku terasa pegal-pegal sekali. Kemudian aku menyiapkan diri, lalu berangkat kesekolah. Jam baru menunjukkan pukuk 6:30 ketika aku sampai di sekolah. Belum banyak orang yang datang. Namun aku sungguh terkejut melihat IBu Sari berdiri di pagar sekolah seakan-akan menungguku. Aku berjalan pelan menghampirinya. Kemudian IBu Sari menyerahkan sebuah amplop kepadaku.

"Cari tempat sepi, lalu lihat isinya," ujarnya padaku dengan perlahan, seakan tidak ingin didengar oleh orang lain. Dan kemudian dia segera pergi meninggalkanku. Aku terdiam sejenak, kemudian aku pergi menuju WC pria. Disana dengan perlahan aku membuka amplop itu.

Mataku terbelalak kaget dengan apa yang kulihat di depanku. Disana ada foto diriku yang mengenakan BH dan celana dalam wanita. Seakan tidak percaya dengan apa yang aku lihat aku menatap foto itu selama beberapa detik, kemudian otakku mulai bekerja. Aku dapat menyimpulkan bahwa IBu Sari yang melakukan ini semua padaku pada saat aku tertidur di ranjangnya kemarin.

Selain itu ada beberapa buah foto lain yang tidak kalah mengejutkan. Ada 2 buah foto diriku yang telanjang bulat, ada foto diriku yang hanya mengenakan BH saja, dan ada sebuah foro diriku yang mengenakan BH dan rok perempuan. Aku sungguh-sungguh panik pada saat itu. Tidak bisa kubayangkan jika foto ini bisa di ketahui oleh teman-temanku, atau bahkan orang tuaku. Selain foto-foto tersebut, IBu Sari juga memberikan secarik kertas yang berisi pesan.

"Foto-foto itu diambil dengan kamera polaroid, tapi Ibu masih punya 5 foto lain yang lebih heboh dari itu. Mulai sekarang turuti semua perintah Ibu kalau kamu tidak mau foto itu Ibu sebarkan!"

0 comments:

Post a Comment