Sutikno yang sudah dipanggil “Tik” sejak hari pertamanya di taman kanak-kanak- berdiri dalam kegelapan lemari. Kakinya terasa kram dan ia fobia pada gelap. Ia tak sabar ingin membuka gerendel pintu lemari itu dan keluar dari dalamnya, tapi ia tahu ia harus menunggu lima menit lagi.
Tik mengintip dari celah-celah pintu. Mengesalkan juga karena celah-celah itu menghadap ke bawah sehingga ia hanya dapat melihat lantai putih lorong sekolah. Suara bel tanda sekolah berakhir sudah berbunyi lama sebelumnya, dan Tik tahu pada saat ini hampir semua murid sudah berada di luar sekolah. Mungkin mereka sedang menunggu jemputan atau berjalan pulang. Beberapa orang yang tertinggal masih berkeliaran di lorong. Salah seorang diantaranya berhenti di depan sel penjara Tik “Semoga kau bisa keluar sebelum waktu makan malam, Tik Gendut Pantat Bau!” kata anak laki-laki itu. Lalu ia menendang pintu lemari, menimbulkan bunyi keras dari logam yang bergema memekakkan telinga. “Jangan menangis, Tik. Aku bisa melihat mata kecilmu yang basah.” Lalu sebuah tendangan lagi.
Tik memejamkan mata, dia tidak menangis, hanya sedikit berkeringat. Menarik nafas, ia menguatkan diri untuk mengabaikan anak bodoh di luar. Biasanya para penggencet akan pergi begitu saja kalau dia tetap diam.
Tik sudah memutuskan untuk menerima nasib sebagai anak yang dipilih anak lain untuk diganggu. Dengan begitu hidupnya terasa jauh lebih mudah. Ketika suasana di lorong betul-betul telah sepi, ia membuka gerendel pintu.
Pintu terbuka, mengayun keras dan menabrak lemari di sebelahnya. Tik melangkah keluar dan meregangkan tangan serta kakinya yang kram. Terkurung dua jam di lemari memang menyiksa, tapi ia tidak mempedulikannya. Ini hari Sabtu dan kedua orang tuanya telah membelikannya komputer baru untuk ulang tahunnya yang keempat belas besok. Liburan sekolah juga sudah di depan mata. Ia merasa betul-betul gembira.
Tik memastikan tidak ada seorangpun yang masih berada disana untuk menyiksanya lagi. Ia membetulkan bajunya yang kusut dan berjalan menyusuri lorong, menuju pintu terdekat yang akan membawanya pada ruangan bu Nurmala. Ia merapat ke sisi lorong ketika melihat bu Indira, guru kimianya, keluar dari ruang guru sambil membawa berkas-berkas di tangannya yang lentik.
“Hmm, Tik, kamu ‘kah itu?” wanita tinggi langsing itu berkata dengan senyum lebar memenuhi wajahnya yang cantik. “Kenapa masih disini? Tidak sabar ingin mendapatkan PR lebih banyak?” jilbab hitamnya yang lebar jatuh sempurna menutupi payudaranya yang besar. Tik tahu ibunya pasti akan berkomentar bahwa bu Indira perlu mengecilkan ukuran buah dadanya. Tapi menurut Tik, bu Indira justru kelihatan keren dengan dada seperti itu.
Bocah itu tertawa singkat, “Tidak, bu. PR dari ibu sudah banyak sekali. Saya sudah beruntung kalau bisa menyelesaikannya hari senin nanti.”
“Hmm,” jawab bu Indira. Ia meraih bahu Tik dengan tangan lentiknya dan menepuk punggungnya pelan. “Kalau begitu, untuk apa kamu masih disini. Jangan bilang kalau kamu mau mencuri.”
Tik menggeleng cepat, “Tidak, tentu saja tidak!”
“Lalu?” bu Indira menuntut penjelasan.
Tik menelan ludah, “Emm, s-saya harus menemui bu Nurmala.”
“Ohh,” bu Indira mengangguk mengerti. “Dia sudah menunggumu di ruang guru.” ucapnya, lalu buru-buru menambahkan. “Kamu terlalu pintar untuk anak tingkat delapan, Tik. Seharusnya kamu dinaikkan satu tingkat lagi.”
“Ehm, terima kasih, bu. Tapi saya tidak mau gangguan pada saya semakin bertambah.” Tik menyahut.
Wajah bu Indira mengerut. “Aku tidak suka dengan yang anak-anak itu lakukan padamu. Jika aku bisa…”
“Saya tahu, bu. Ibu akan memukuli mereka jika bukan karena urusan hukum yang menyebalkan itu ‘kan? Bu Nurmala juga pernah bilang begitu.” jawab Tik.
“Ah, benarkah?” wanita itu kembali tersenyum.
Tik mengangguk. “Karena tidak bisa melakukan itu, bu Nurmala akhirnya cuma bisa menghibur saya dengan cara lain yang ternyata lebih menyenangkan.”
“Apa itu?” bu Indira bertanya penasaran.
“Kenapa kita tidak kesana saja sama-sama agar ibu bisa langsung tahu jawabannya.” sahut Tik sambil menyeringai licik.
Bersama-sama mereka pergi ke ruangan bu Nurmala. Di belakang meja, Tik melihat seorang wanita berjilbab merah yang berumur sekitar empat puluhan. Meskipun sudah tidak muda lagi, tapi badannya masih terlihat sangat terawat dan seksi. Payudaranya tampak membulat indah dan cukup kencang, tidak kalah dengan punya bu Indira yang usianya jauh lebih muda. Kulitnya putih bersih dan wajahnya juga masih tampak cantik.
Bu Nurmala tampak sibuk menulis sesuatu. Tik memberanikan diri mengetuk pintunya. “Maaf, bu, menganggu.” sapanya sopan.
Wanita itu berhenti menulis dan mendongak, menatap Tik. “Hai, Tik. Aku sudah menunggumu dari tadi. Kukira lain kali aku harus turun tangan untuk mengatasi anak-anak nakal itu.”
“Ah, tidak usah, bu. Saya tidak apa-apa kok.” Tik masuk ke ruangan itu, diikuti oleh bu Indira.
“Lho, Indira? Nggak jadi pulang?” tanya bu Nurmala pada guru muda cantik itu.
“Tik mau menunjukkan saya sesuatu,” jawab bu Indira sambil duduk di kursi di depan meja, sedangkan Tik tetap berdiri.
“Tik?” bu Nurmala memandangnya, meminta penjelasan.
“Ehm, anu… Saya ingin mengajaknya bergabung, bu. Itu juga kalau ibu mengijinkan,” sahut Tik lirih, takut Ibu guru yang disayanginya itu marah.
Di luar dugaan, bu Nurmala malah tersenyum, “Pede sekali kamu? Yakin nanti kuat?”
“Ehm, lihat saja nanti.” ucap Tik sambil memainkan ujung sepatunya.
“Sama aku aja kamu sering kewalahan, ini malah minta bertiga. Bu Indira itu masih muda lho.” wanita itu tertawa.
Tik tidak menjawab, hanya ikut tertawa ringan.
“Tapi masalahnya, bu Indiranya mau nggak?” tanya bu Nurmala lagi.
“Ehm, sepertinya sih begitu.” Tik melirik guru muda yang ada di sebelahnya.
Bu Indira yang tidak tahu maksud pembicaraan mereka tampak agak sedikit bingung. “Apaan sih?” tanyanya penasaran.
“Tik, bisa keluar sebentar.” kata bu Nurmala. “Aku ingin bicara berdua dengan bu Indira.”
Tik bergegas keluar. Cukup lama dia menunggu hingga bu Nurmala memanggilnya, menyuruhnya untuk masuk kembali. “Ini hari keberuntunganmu, Tik.” kata perempuan cantik itu.
“Kenapa tidak bilang dari dulu, Tik?” tambah bu Indira, mereka tersenyum mendekati Tik.
Tik ikut tersenyum, dan sama sekali tidak menolak saat bu Indira memeluk dan mencium bibirnya. Bu Nurmala segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Dia lalu berbalik dan memeluk Tik dari belakang. “Aku dah kangen sama inimu…” bisiknya sambil mengelus penis Tik yang sudah mulai ngaceng berat.
Tanpa basa-basi, mereka saling berciuman. Tik awalnya agak canggung melayani dua bibir yang begitu kelaparan itu, tapi begitu sudah mendapatkan ritmenya, ia dengan penuh nafsu melumat dan menghisapnya secara bergantian. Terutama milik bu Indira, bibir tipis perempuan cantik itu terasa hangat dan begitu lembut di dalam mulutnya. Bu Indira juga begitu pandai memainkan lidah, sesuai dengan kesehariannya yang cerewet dan ceplas-ceplos.
Bu Nurmala hanya tersenyum menyaksikan semua itu, ia kemudian menarik tangan Tik, mengajaknya duduk di sofa. Bocah itu ia letakkan di tengah, sementara dia dan bu Indira mengapitnya di kiri dan kanan.
Bu Nurmala mengenakan terusan panjang berwarna biru dengan hiasan bunga warna emas di dadanya yang bulat. Meski tertutup jilbab lebar, lekuk tubuhnya yang tidak terlampau tinggi membayang jelas dari balik busana yang ia kenakan. Buah dadanya tampak begitu besar, kontras dengan tubuh mungilnya yang imut-imut.
Sedangkan bu Indira memakai kemeja lengan panjang warna pink polos, menambah kesegaran kulitnya yang putih mulus. Rok yang dikenakannya adalah rok panjang agak longgar berwarna putih, ketika dia duduk -sekalipun rok itu panjang- bu Indira seperti sengaja sedikit menyingkapkannya sehingga betis jenjangnya yang putih mulus tanpa cacat tampak mengintip malu-malu dari bagian bawahnya. Sungguh sangat menggairahkan sekali.
Tik tanpa membuang waktu segera memeluk keduanya. Ia daratkan ciuman lembut ke bibir bu Nurmala dan bu Indira secara bergantian. Keduanya membalas dengan nikmat dan penuh nafsu hingga untuk beberapa lama mereka terus saling melumat dan berciuman.
Bu Nurmala melepaskan ciumannya saat Tik meremas buah dadanya pelan, “Layani bu Indira, Tik. Dia tadi begitu penasaran saat kuceritakan betapa kuatnya dirimu.” Bu Nurmala berkata dengan nada menggoda.
“Ihh… bu Nurmala bisa aja.” Bu Indira membalas candaan bu Nurmala dengan tak kalah genitnya.
Begitulah keduanya, terkenal ramah dan suka bercanda di sekolah. Banyak murid yang menyukainya. Begitu juga dengan rekan sesama guru, meski dengan alasan yang sedikit berbeda.
Tik segera menghadap ke kiri. Bu Indira sama sekali tidak menolak ketika ia memeluknya. Malah wanita itu membalas dengan melingkarkan lengannya ke leher Tik. Si bocah mengecup lembut keningnya yang putih, sambil semakin mempererat pelukannya. Bau parfum bu Indira yang harum dan lembut segera memenuhi rongga hidungnya.
“Tik… seperti kata bu Nurmala tadi, kalau tubuhku ini memang bisa menghiburmu, lakukanlah apa saja. Ibu ikhlas, asal kamu juga bisa memuaskan ibu.” bisik bu Indira kalem.
“Ah, i-iya, bu. Saya pasti akan memuaskan ibu, seperti yang biasa saya lakukan pada bu Nurmala.” sahut Tik sambil melirik bu Nurmala yang tersenyum di sampingnya.
“Heh, sombong banget kamu!” timpal bu Nurmala. “Tapi, emang bener sih,” tambahnya sambil tertawa.
Mereka tertawa berbarengan, lalu dengan sangat lembut Tik mendaratkan bibir ke atas bibir bu Indira yang tipis dan mungil. Perlahan ia rapatkan sambil sedikit menghisapnya. Bu Indira membalasnya dengan lembut dan balik menghisap bibir tebal Tik.
“Ehm, bu…” melenguh keenakan, lidah Tik mulai bergerak menelusuri mulut bu Indira yang sedikit terbuka. Wanita itu menerimanya dengan pasrah, ia biarkan lidah Tik menggelitik giginya yang rapi dan putih dengan begitu leluasa. Bahkan saat Tik menghisap lidah dan sedikit melumat dengan mulutnya, ia juga tidak menolak. Begitu panas dan nikmatnya ciuman itu hingga untuk beberapa saat mereka seperti melupakan kehadiran bu Nurmala yang masih setia menonton sambil berkeringat dingin.
“Hah, hah,” perlahan bu Indira melepaskan bibirnya dari pagutan bibir Tik saat dia merasa sedikit kesulitan untuk bernafas. Dilihatnya kepala Tik yang terkulai manja di atas bulatan dadanya. Tangan mereka masih saling berangkulan erat.
Tik tak tahan untuk tidak melakukan apa-apa dalam waktu lama, apalagi bisa dirasakannya tubuh bu Indira yang sintal terasa begitu menggoda di dalam dekapannya. Maka dengan cepat tangannya menyelip ke balik kemeja perempuan cantik itu dan segera menyusup di antara BH dan buah dada bu Indira yang bulat padat. Tik mengelus-elus putingnya yang terasa mengganjal kaku dengan ujung jari sambil tak lupa mulai meremas dan memijit bulatannya secara perlahan-lahan.
Tubuh mulus bu Indira sedikit bergetar mendapat rangsangan seperti itu. “Ehm, Tik!” rintihnya dengan tubuh menekuk ke depan.
Bu Nurmala yang dari tadi cuma jadi penonton, rupanya mulai tak tahan. Pelan ia tarik tangan kiri Tik yang menganggur dan dijulurkannya sepanjang mungkin sehingga bisa menjangkau pangkal kemaluannya. Dari luar baju kurung, ia meminta agar mengusap-usapnya. Sambil terus meraba buah dada bu Indira, Tik pun melakukannya. Kedua tangannya lekas berkreasi, satu menggesek pelan celah selangkangan bu Nurmala, satunya lagi tetap asyik meremas dan memenceti payudara bu Indira yang bulat besar. Kedua ibu guru cantik yang haus akan sentuhan laki-laki berusaha ia puaskan dalam waktu hampir bersamaan.
“Auh, Tik…” bu Nurmala melenguh saat Tik dengan susah payah menyingkap baju panjangnya ke pinggang, lalu dengan jari-jemarinya yang terampil, mulai memelorotkan celana dalamnya hingga terlepas. Ia menarik nafas cepat saat benda mungil berwarna hijua lumut itu tergeletak di lantai dekat kaki Tik.
Sekarang dia sudah setengah telanjang, begitu juga dengan bu Indira. Kalau dia di bagian bawah, bu Indira sebaliknya. Kancing kemejanya sudah terbuka lebar, menampakkan gundukan payudaranya yang masih terbalut beha putih tipis. Nampak beha itu hampir tidak bisa memuat payudara bu Indira yang bulat besar. Dengan cekatan jari-jari Tik membuka kaitan behanya, membebaskan payudara bu Indira hingga benda itu bisa menyembul dan bernafas lega.
“Wow, besar sekali, bu.” kagum Tik dengan mata melotot tanpa berkedip.
“Hehe, baru tahu ya,” sahut bu Indira, ia menyingkap jilbabnya ke belakang agar Tik bisa semakin leluasa memandangi tonjolan buah dadanya.
Dengan air liur yang hampir menetes, Tik segera mendekatkan mulutnya ke puting kanan bu Indira dan mulai menjilatinya pelan. “Ahh, Tik…” ibu guru muda itu menerimanya dengan mendesah penuh nikmat.
Sementara itu, dengan bibir menjejahi gundukan payudara bu Indira, jari tangan kiri Tik masih lincah menusuk-nusuk kewanitaan bu Nurmala yang sudah mulai basah berlendir. Dengan ujung jari tengah, ia usap klitoris perempuan cantik itu dan menggosoknya pelan ke atas dan ke bawah hingga membuat bu Nurmala semakin menggelinjang nikmat. “Aah, Tik… geli!” desahnya.
Sambil terus menggesek klitoris bu Nurmala yang sudah tegak berdiri, Tik sedikit membungkukkan badan sehingga mulutnya bisa mengulum puting bu Indira yang sebelah lagi. Ia menghisapnya lambat-lambat sambil menjilati ujungnya dengan lidah. Bisa dirasakannya badan ramping bu Indira yang mulai kaku, seluruh ototnya menegang, sementara rintihan dan lenguhannya semakin terdengar kencang.
“Jangan keras-keras, bu. Nanti didengar orang.” Bu Nurmala mengingatkan.
Bu Indira segera menutup mulutnya dengan tangan. “I-iya, maaf. Tik sih, kulumannya begitu nikmat.” bisiknya pelan.
Tik tersenyum mendengarnya. Ia berpandangan dengan bu Nurmala dan tersenyum puas karena bisa memberi kenikmatan kepada bu Indira di pertemuan pertama mereka. Bu Nurmala kemudian merapat, kepalanya disandarkan di buah dada bu Indira yang tampak mengkilat, basah oleh air liur Tik. Dia memandang Tik dengan lembut, bibirnya sedikit terbuka. Tersenyum, Tik pun mendekatkan kepala dan mencium bibir perempuan setengah baya yang masih tampak cantik itu. Sebuah ciuman untuk merayakan keberhasilan mereka dalam menjerat bu Indira sehingga bisa ikut dalam permainan tabu ini.
“Ngomong-ngomong, sudah sejak kapan kalian melakukan ini?” tanya bu Indira sambil mengelus puncak kepala Tik lembut.
“Emm… kapan ya?” Tik mencoba mengingat-ingat.
“Sudah lama pokoknya, lebih dari dua bulan.” sahut bu Nurmala.
“Bagaimana bisa terjadi?” tanya bu Indira penasaran.
“Sebenarnya ini nggak sengaja. Tik memergokiku yang sedang masturbasi di kamar mandi guru, dia saat itu habis dipanggil kepala sekolah setelah menang lomba matematika. Daripada dia cerita ke murid lain, terpaksa kubungkam mulutnya dengan tubuhku. Benar ‘kan, Tik?” jelas bu Nurmala.
Tik mengangguk mengiyakan.
“Bu Nurmala aneh-aneh sih, masturbasi kok di sekolah. Emang dah nggak tahan banget ya?” goda bu Indira.
“Haha, habisnya… sudah 1 minggu suamiku tugas keluar, daripada kegatelan, mending kugaruk aja punyaku.” terang bu Nurmala.
“Akibatnya, jadi dipergoki sama Tik.” kata bu Indira.
“Yang mana itu sama sekali tidak kusesali.” sahut bu Nurmala.
“Maksud ibu?” tanya bu Indira tak mengerti.
“Sekarang, kalau suamiku dinas ke luar kota, aku sudah nggak bingung lagi. Sudah ada Tik yang menemaniku.” jawab bu Nurmala sambil mencium mesra bibir Tik.
Tik tersenyum, senang dipuji seperti itu.
“Aku juga mau donk, suamiku kan juga sering pergi.” kata bu Indira.
“Coba aja. Aku jamin, kamu pasti puas.” Bu Nurmala memberi garansi. “Lagipula, dengan begini, kita juga bisa menghibur Tik yang suka di-bully sama anak-anak lain.”
Bu Indira memandangi Tik yang masih bersandar di puncak buah dadanya. ”Betapa beruntungnya kamu, Tik. Bisa merasakan tubuh kita berdua.” katanya sambil tersenyum.
Tik ikut tersenyum, dan tanpa berkata apa-apa, memperhatikan saat kedua gurunya itu mulai mencopoti baju masing-masing. Bu Nurmala yang ada di sebelah kirinya, baju panjangnya sudah terbuka lebar, mempertontonkan buah dadanya yang meski tidak sebesar milik bu Indira, tapi terlihat sangat serasi dengan tubuh bugilnya yang mungil. Putingnya yang berwarna coklat kemerahan tampak mencuat di puncaknya yang mulus. Lingkaran gelap aerola-nya yang sebesar koin seratusan rupiah makin menambah indahnya payudara bulat itu.
Sementara bu Indira, kini sudah menyingkap rok panjangnya ke atas hingga ke pinggang. Tik bisa melihat tubuh rampingnya yang begitu molek dan mulus. Tak henti-hentinya ia mengagumi tubuh guru kimia-nya itu. Pinggang bu Indira begitu kecil dan ramping karena memang belum pernah melahirkan, ia baru saja menikah beberapa bulan yang lalu. Lebih ke bawah lagi, tampak kemaluannya yang ditumbuhi bulu-bulu pendek saat bu Indira melepas celana dalamnya. Bukitnya tampak begitu ranum dan menggairahkan, diapit oleh sepasang paha yang mulus dan langsing, sungguh sangat mengundang birahi. Berani sumpah, Tik belum pernah melihat secara langsung tubuh yang begini indah dan menggairahkan.
“Wow…” ia berseru dalam hati, di hadapannya kini terpampang dua orang wanita cantik dan mulus dengan paha yang menganga lebar memperlihatkan alat kewanitaan masing-masing. Bu Indira dengan belahan kemaluannya begitu kecil, juga klitoris yang berwarna pink menyala, sedikit menyembul seakan mengundang Tik untuk segera menikmatinya. Sedangkan milik bu Nurmala, tampak tumbuh berlapis-lapis. Warnanya begitu terang, coklat sangat muda. Meski sudah sering melihat dan menikmatinya, tak urung Tik tak tahan juga dibuatnya.
Tanpa basa-basi ia segera mencium seluruh selangkangan bu Nurmala. Bau wangi yang khas segera menyambut lubang hidungnya. Perlahan ia menjulurkan lidah dan mulai menjilatinya naik turun. Pantat bu Nurmala sedikit gemetar menahan gejolak kenikmatan akibat perbuatan itu.
“Ooh… ohh… shh…” desahannya seakan sorakan penyemangat di telinga Tik, membuat si bocah terus menjepit dan menggigit klitoris bu Nurmala dengan kedua bibirnya. Sekarang paha bu Nurmala ikut bergetar karena rangsangan nafsu. Gairahnya semakin menyala. Apalagi saat lidah Tik mulai menyapu lorong kewanitaannya, pahanya terbuka semakin lebar dan pantatnya sedikit terangkat, membuat vaginanya yang menganga lebar semakin terjangkau oleh lidah Tik.
“Ooh… yah, begitu… Tik! Ooh… iyah!” desah bu Nurmala serak, terdengar semakin keras.
“Aah… ahh!” erangan bu Indira menimpali. Ternyata, sambil mengoral vagina bu Nurmala, Tik juga menusukkan tangannya untuk mengocok-ngocok kemaluan bu Indira. Jadilah kedua guru yang di luar kelihatan alim itu, merintih bersahut-sahutan oleh rangsangan nakal Tik.
“Ahh… s-sudah, Tik. Aku nggak tahan.” kata bu Nurmala dengan tubuh mulai bergetar pelan. Tik yang sudah hafal dengan reaksi itu, segera menggerakkan lidahnya semakin cepat. Ia tusukkan lidahnya dalam-dalam ke liang sanggama bu Nurmala yang masih terasa sempit meski sudah melahirkan tiga orang anak. Ia cucup klitorisnya yang sudah sangat keras dengan kedua bibirnya hingga tubuh bu Nurmala menggelinjang liar. Tangannya mencengkeram kepala Tik, memintanya agar menghisap lebih kuat lagi. Dan akhirnya…
“Aah… ahh… ibu sampai, Tik… ssh… ahh!!” teriak bu Nurmala dengan paha mengatup erat, menjepit kepala Tik yang masih berada disana. Pantatnya terangkat tinggi-tinggi, sementara otot vaginanya menjadi sedikit kaku. Dari dalam liang kemaluannya, menyembur cairan bening yang banyak sekali, menyiram lidah dan mulut Tik hingga jadi terasa lengket.
“Aaah… Tik!” bu Nurmala sudah mencapai puncak kenikmatannya. Untuk beberapa saat tubuhnya kaku tak bergerak. Pahanya masih menjepit kuat kepala Tik sehingga bocah itu terperangkap di celah selangkangannya. saat otot-otot vaginanya mulai mengendur, barulah ia melepaskannya.
“Hah, hah, hh,” Tik segera menarik nafas. Dengan bu Nurmala yang sudah mencapai puncak, ia segera mengalihkan perhatian pada bu Indira yang masih setia menunggu.
“Sekarang giliran ibu,” kata Tik dengan mulut masih belepotan lendir kenikmatan bu Nurmala.
“Lakukan, Tik. Cepat! Aku juga nggak tahan.” sambut bu Indira dengan paha terbuka lebar.
Tik segera menusukkan lidah ke lubang vagina perempuan cantik itu. Tangannya yang tadi mengusap-usap klitoris bu Indira, ia sisipkan ke bawah. Sekalipun tubuh bu Indira kurus dan ramping, tapi pantatnya ternyata cukup padat berisi. Tik segera memijit dan meremas-remasnya penuh nafsu sambil mulut dan lidahnya terus bergerak liar.
“Ohh… iya, Tik… ooh… shh!” desah bu Indira penuh birahi. Pantatnya yang bulat sudah mulai bergoyang menikmati permainan lidah Tik di liang senggamanya. Semakin lama, semakin kuat goyangan pantat itu. Dengan susah payah Tik harus mengikuti agar lidahnya tidak terlepas dari selangkangan bu Indira.
“Ohh… Tik, aku nggak tahan… aah!!” Paha bu Indira sudah mengangkang maksimal. Dia mengangkat pantatnya tinggi-tinggi, bahkan sampai berjinjit dengan ujung jari saat Tik mencucup klitorisnya kuat-kuat. Punggungnya sudah tidak menyentuh sandaran sofa, dengan dinding vagina bergerak berkedut-kedut naik turun tak terkendali.
“Ohhh… Tik!” dengan jeritan terakhir, bu Indira menyemburkan cairan kenikmatannya. Tubuh montoknya sedikit bergetar saat cairan itu meleleh keluar dari liang vaginanya.
“Hamp!” Tik segera menampung dan menyapunya dengan lidah. Cukup banyak cairan yang keluar, tapi semuanya ia telan, sampai akhirnya bu Indira berhenti mengejang dan mulai menurunkan pantatnya. Namun nafas perempuan itu masih sedikit memburu.
“Ooh… nikmat sekali, Tik… aku puas. Suamiku bahkan tidak pernah berbuat seperti itu!” puji bu Indira.
Tik beringsut dan lalu berbaring telentang diantara kedua ibu gurunya, bu Nurmala di sebelah kanan, sedangkan bu Indira di sebelah kiri. Mereka memeluk dan tanpa henti menghujani wajah bulat Tik dengan ciuman. Beberapa saat mereka saling bercumbu, atau lebih tepatnya, bu Indira dan bu Nurmala yang mencumbui Tik. Tik sendiri hanya telentang pasrah sambil menikmati rasanya jadi raja, dilayani oleh dua wanita yang begitu cantik dan seksi, yang meski beda umur mereka begitu jauh, tapi tidak mengurangi hasrat dan birahinya.
“Ini dilepas donk,” tangan bu Nurmala yang nakal mulai menggerayangi perut Tik. Dengan sekali sentakan lembut, celana yang membelit tubuh bagian bawahnya terbuka, melorot ke bawah. Penis Tik yang sudah sedari tadi mengacung tegak, langsung menyembul berdiri.
Perhatian bu Nurmala dan bu Indira segera tersedot kesana. Tangan keduanya saling berlomba untuk menggerayangi dan mengusap-usap penis itu. Namun bu Nurmala yang menang. Ia lekas beringsut dan berjongkok di dekat kaki Tik. Bibirnya yang tebal sensual mulai menciumi batang penis bocah itu. Saat Tik asyik berciuman dengan bu Indira, bu Nurmala segera memasukkan kepala penis itu ke dalam mulutnya yang hangat dan mulai mengulumnya mesra. Lidahnya yang basah dengan pintar menggelitik batang kejantanan Tik yang terasa semakin menegang di dalam mulutnya.
Bu Indira yang melirik ke bawah memperhatikan apa yang dilakukan oleh bu Nurmala, dari raut mukanya, terlihat kalau dia mulai tertarik juga. Dan benar saja, beberapa saat kemudian, bu Indira melepaskan ciumannya dan ikut jongkok di dekat kaki Tik, bersebelahan dengan bu Nurmala. Kini bergantian mereka mencium dan mengulum penis panjang Tik.
“Ahh…” Tik melenguh keenakan diperlakukan seperti itu. Dengan mata tertutup ia mengelus lembut kepala kedua ibu gurunya yang cantik itu; yang kiri untuk bu Nurmala dan yang kanan jatah bu Indira. Kedua-duanya masih tertutup jilbab lebar sedada.
“Ohh…” tubuh Tik seakan terangkat ke kayangan, rasanya sungguh sangat nikmat. Cara bu Indira mengoral sungguh halus, tidak seperti bu Nurmala yang agak sedikit binal. Bu Indira menggerakkan bibirnya dengan sangat lembut, kadang penis Tik disedotnya pelan, diselingi jilatan lidah di sekitar leher penis. Tik sangat suka dengan apa yang dilakukan oleh perempuan cantik itu. “Ooh… terus, bu… yah, nikmat sekali… ooh!” membuatnya jadi mulai mengerang penuh kenikmatan.
Bu Nurmala yang melihat tubuh Tik mulai gemetar, cepat menghentikan aksi bu Indira. “Stop dulu, bu. Nanti dia bisa keluar duluan.” peringatnya.
“Hah,” Bu Indira segera menarik mulutnya. Dengan terengah-engah ia memperhatikan Tik yang wajahnya merah padam karena menahan ejakulasi. Seluruh bulu di tubuh bocah itu berdiri meremang.
Tik yang merasa gairahnya diputus di tengah jalan, perlahan membuka matanya dan melirik ke bawah. Ditariknya tubuh mulus kedua ibu gurunya yang cantik itu dan dipeluknya dengan mesra. Masing-masing ia hadiahi kecupan hangat di bibir. Dengan manja bu Nurmala dan bu Indira menyandarkan kepala ke dada Tik, membiarkan payudara mereka yang besar menghimpit ketat ke lengan si bocah.
“Sekarang kita lihat, kuat nggak kamu melayani kita berdua.” kata bu Nurmala sambil tangannya menggerayangi selangkangan Tik. Penis Tik yang masih tegak mengacung dibelainya pelan. Jari-jarinya yang lentik dan mungil mempermainkan penis Tik dengan begitu lembut. Telaten dipijit-pijitnya kepala penis Tik, lalu dengan halus dibelitnya batang kejantanan Tik dengan jari telunjuknya.
Adik kecil Tik langsung bereaksi, perlahan benda coklat panjang itu mendongak dan mengangguk-angguk. Bu Indira yang melihatnya tersenyum gembira. Lekas dia berbaring dan membimbing Tik agar menaiki tubuh sintalnya. Bu Nurmala mengangguk memberi ijin. Maka, sambil membungkuk, Tik pun mengarahkan kepala penisnya yang masih tampak mengkilat ke lubang kenikmatan bu Indira yang terlihat sangat mengundang.
“Aku masukkan, bu.” kata Tik. Perlahan ia menusukkan batang kelelakiannya menembus gua vagina sang ibu guru.
“Ahh…” Tubuh bu Indira sedikit bergetar menyambut penis Tik yang memasuki tubuhnya. Perlahan seluruh batang penis bocah itu terbenam ke dalam liang vaginanya. Selanjutnya dengan perlahan Tik mulai memompa pantatnya maju mundur secara berirama. Bu Indira mengimbangi dengan menggoyang pantatnya memutar tak beraturan. Gerakannya semakin lama semakin cepat dan kuat. Tangannya memegangi pinggul Tik sehingga Tik semakin leluasa menyodokkan batang penisnya.
“Aaah…” Tik merasakan vagina bu Indira mengetat kencang, mencekik batang penisnya, lalu disusul oleh semburan cairan hangat yang banyak sekali. Rupanya perempuan cantik itu sudah mencapai orgasmenya. Bukannya berhenti, Tik malah semakin dalam menghujamkan batang penisnya, hingga semakin banyak cairan bu Indira yang meleleh keluar.
“Hah, hah, hah,” dengan tubuh lemas namun puas, bu Indira terdiam bagai patung. Hanya nafasnya yang terdengar tersengal-sengal. Senyum manis tersungging di bibirnya yang tipis. “Ah, k-kamu hebat, Tik.” pujinya tulus.
Perlahan Tik mencabut penisnya. Bu Nurmala yang sudah menunggu giliran, lekas mempersiapkan diri. “Sekarang giliranku,” katanya sambil merangkak dengan posisi pantat mengarah ke selangkangan Tik.
Tik membelai sebentar pantat bulat bu Nurmala sebelum ia arahkan senapannya yang masih terisi penuh ke lubang kenikmatan perempuan setengah baya itu dari arah belakang. Inilah posisi favorit bu Nurmala; doggie style. Dengan lembut Tik menusukkan kepala penisnya sambil menekan perlahan sampai seluruh batang kelelakiannya amblas ditelan gua surga bu Nurmala.
Meski tidak sesempit milik bu Indira , namun Tik terlihat sangat menikmatinya. Bagaimanapun, inilah vagina pertama yang ia rasakan selama ia tumbuh dewasa. Dengan sangat perlahan Tik mulai memompa pantatnya maju mundur dengan teratur.
Bu Nurmala sepertinya juga sangat menikmati. Terbukti dari kepalanya yang terangguk-angguk sambil mulutnya mendesis mengeluarkan berbagai macam rintihan, “Ahh… terus, Tik. Tusuk yang dalam! Ahh… yah, begitu! Terus! Oughh…”
Tik semakin kuat menggoyangkan pantat. Tangannya dengan terampil terulur ke depan untuk meremas-remas payudara bu Nurmala yang menggantung indah di depan dadanya. Ia memilin dan memelintir-lintir putingnya yang mungil begitu gemas, membuat benda bulat kemerahan itu jadi makin menegak dan mengacung ke depan. Sementara pantatnya semakin ia rapatkan, membuat batang penisnya jadi menusuk semakin dalam.
Tubuh bu Nurmala jadi kaku tak bergerak, rupanya serangan Tik yang beruntun membuatnya menyerah begitu cepat. “Aah… Tik, aku keluar! arghh…” jeritnya dengan tubuh terkapar KO di lantai. Dari dalam liang kemaluannya, merembes cairan kenikmatan yang sangat banyak, membasahi paha dan baju kurungnya. Dinding vaginanya terasa berdenyut-denyut, memeras batang penis Tik yang masih tertancap erat di dalam sana.
“Ooh… ooh…” Tik yang juga sudah tak tahan, ikut menyusul tak lama kemudian. Badannya gemetar hebat, sementara tangannya meremas bulatan payudara bu Nurmala kuat-kuat saat spermanya menyembur keluar, bercampur dengan cairan hangat dari vagina sang ibu guru.
“Shh… hah, hah,” Seluruh tubuh Tik masih merinding ketika bu Nurmala setengah memaksa memundurkan selangkangannya sehingga penis Tik tercabut dari jepitan liang vaginanya. Bertiga mereka berbaring kelelahan. Tik menciumi keduanya ibu gurunya secara bergantian, hangat dan mesra.
“Gimana, penis Tik enak ‘kan?” tanya bu Nurmala pada bu Indira.
“Iya, bu… beneran enak.” Bu Indira lalu berpaling pada Tik, “Kamu belajar dimana sih, pinter banget nyenengin cewek. Siapapun yang jadi istrimu nanti, pasti akan bahagia. Bukan saja kamu pintar, tapi juga perkasa di atas ranjang.”
“Ah, ibu bisa aja.” sahut Tik dengan muka bersemu merah.
Mereka masih saling berbincang dan sesekali saling berciuman. Tik sungguh beruntung bisa mendapatkan dua orang guru yang menjadi idola di sekolah. Meski sehari-hari ia murid yang tidak populer, bahkan sering jadi sasaran bully, tapi nyatanya ia lebih beruntung daripada mereka semua.
Link Daftar
ReplyDeleteAgen Togel Terbaik
http://bisnistoto.com/web/public/web/home